Waspadai
Bahaya Laten Komunis dan Paham Radikal
Kepala Pembinaan Mental Kodam Iskandar Muda
(Kabintaldam IM) Kolonel Caj Ahmad Husein memberikan Bintal Fungsi Komando
dengan tema “Bahaya Laten Komunis dan Paham Radikal” di ruang Yudha Kodam
Iskandar Muda, Jalan Ahmad Yani No.1 Peunayong, Banda Aceh, Senin (21/9).
Dihadapan ratusan prajurit, Kabintaldam IM
menyampaikan ideologi komunis di Indonesia tidak pernah mati, terlebih lagi kondisi
kehidupan bangsa masih diliputi kemiskinan dan kesenjangan sosial. “Sekalipun
Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan dan dilarang keberadaannya,
namun di era reformasi ini justru memberi peluang munculnya multi ideologi.
Kendati secara organisasi PKI sudah tidak ada, namun secara ideologi tidak
pernah hilang”, katanya.
Komponen bangsa perlu selalu waspada guna menangkal
berbagai upaya bangkitnya kembali ajaran komunis yang berusaha merusak
ketatanegaraan di Indonesia. Begitu juga dengan faham radikal yang selalu
berupaya menggunakan syariat agama dalam sendi-sendi keagamaan dan kenegaraan
yang dapat mengganggu solidaritas kerukunan antar umat beragama, persatuan dan
kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dijelaskan, dalam upaya mengkomuniskan bangsa
Indonesia, Komunis/PKI telah menerapkan berbagai strategi gerakan, baik
strategi gerakan terbuka yaitu gerakan legal formal maupun strategi tertutup.
“Strategi tersebut adalah gerakan memutarbalikkan fakta sejarah, penyusupan/infiltrasi
(Kuda Troya), pertentangan kelas (Metode Baji), agitasi dan propaganda, metode
salami, metoda danau pasir, metoda hallo and horn serta masih banyak
metode-metode lain yang dilakukan Komunis untuk menghancurkan negara ini,”
katanya.
Untuk itu sebagai prajurit TNI harus mampu memberikan
wawasan kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh faham radikal kanan
serta mengajak masyarakat mengantisipasi dan mewaspadai orang asing yang akan
memasukkan ideologinya, sehingga nantinya akan diperoleh langkah, cara dan
kesamaan dalam bertindak. Ideologi komunis masih dianggap sebagai ancaman
negara. (PENDAM IM
Editor:
bakri
Sumber: Serambi
Indonesia
Kalau Komunis tidak diberantas di Indonesia, ia
akan menyebar, menindas dan meranggas siapa saja yang tak sepaham dengan
ideologi mereka, seperti yang terjadi di Tiongkok dan Vietnam. Apakah kita rela
Negara kita menjadi demikian? Ini adalah pernyataan yang dilontarkan oleh
sejumlah pelajar Indonesia yang saya temui di London beberapa bulan yang lalu.
Jangan salah sangka terlebih dulu. Para pelajar
ini kebanyakan telah sadar akan manipulasi Orde Baru, dan bahkan mengritik
kekejaman Pemerintah ini. Tapi, mereka hanya ingin membayangkan apa yang
mungkin terjadi: bila PKI dibiarkan tumbuh dan berkembang, kata para pelajar
ini, merekalah yang akan menyembelih dan menyiksa orang-orang tak berhalauan
kiri. Bila Pramoedya tidak dijebloskan ke bui, dia akan melanjutkan antipatinya
pada karya-karya yang dipandangnya kurang mencerminkan ideologi sosialis, dan
para penulis Manikebu lah yang dibungkam atau dikirim ke pulau Buru.
Tetapi, gambaran yang disodorkan oleh mereka
hanyalah satu kemungkinan yang berlawanan. Ada ribuan bahkan jutaan kemungkinan
lainnya bila Kudeta Suharto tidak terjadi. Dan kemungkinan-kemungkinan ini
jarang sekali disebutkan. Namun yang pasti adalah: jutaan rakyat Indonesia
telah disembelih dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Bahkan banyak dari para
korban ini bukanlah komunis atau orang kiri.
Bahaya laten komunism yang telah ditanamkan oleh
indoktrinasi Suharto telah mengakar dalam, sehingga komunis pada masa Orde Baru
disamakan dengan iblis yang siap menyerang siapa saja. Mereka yang tak beragama
dan tak ber-Tuhan, adalah mahluk yang siap menerkam. Bahkan mereka seringkali
tidak lagi dipandang sebagai manusia. Karena kecurigaan dan ketakutan itulah,
banyak orang memaklumi segala kekejaman yang terjadi pada para komunis dan
orang-orang kiri. Politik ketakutan yang dipraktikkan oleh Suharto begitu
dahsyat dalam hal ini.
Rasa takut memang dapat menjadi efektif untuk
mengontrol masa. Dalam ketakutan, kita biasanya akan lari untuk mendapat
perlindungan. Dalam ketakutan, kita biasanya tidak lagi bisa rasional:
satu-satunya yang kita kuatirkan adalah keselamatan kita. Dalam ketakutan, kita
akan lebih mudah tunduk pada yang berkuasa, karena kita mempercayai bahwa
mereka dapat melindungi kita. Dan terkadang, kita tidak lagi perduli apapun
yang mereka lakukan, asalkan kita selamat. Karena ketakutan yang teramat
sangat, dapat membuat seseorang bersandar pada dua pilihan: “Membunuh atau
dibunuh”. Sebuah logika yang tumpul – namun masih meresap dalam para pelajar
yang saya sebut di atas: bila tidak kita, maka haruslah para komunis yang
musnah.
Ketakutan seringkali bermetamorfosa menjadi
kekejaman. Binatang yang terancam bahaya dapat menjadi sangat agresif. Anjing
yang baru saja mempunyai bayi biasanya jauh lebih garang, karena mereka juga
merasa riskan pada periode ini: mereka bahkan dapat menyerang pemiliknya bila
didekati secara tiba-tiba. Dan bila Anda diserang oleh anjing Anda sendiri,
mungkin inilah pertanyaan yang mencuat: “Aku nggak berbuat apa-apa kok digigit?
Padahal aku sayang sekali dengan anjing ini!”. Bila Anda masih bisa bertanya
demikian, paling tidak Anda belum wafat. Kalau Anda sudah dibunuh dan dibuang
mayatnya di kali, seperti jutaan manusia-manusia di tahun 1965, Anda tidak akan
mempunyai kesempatan untuk bersuara sama sekali.
Sungguh, kita tidak perlu membawa-bawa nama
“komunis” untuk menjadi kejam. Begitu juga, kita tidak perlu membawa-bawa nama
“agama” untuk menjadi bermoral. Kekejaman dan kriminalitas dapat dilakukan
dalam nama keduanya – penyerangan 11 September, pengeboman di Bali dan kereta
bawah tanah London dilakukan dalam nama Islam. Di Amerika Serikat dan Britania,
Islam seringkali mendapat stigma negatif, sehingga banyak umat yang tak
bersalah terkena getah. Berapa banyaknya manusia-manusia yang telah ditahan dan
disiksa di Guantanamo Bay tanpa proses pengadilan, dan ini jugalah yang telah
terjadi pada jutaan manusia tak berdosa di tahun 1965. Karena George Bush juga
menerapkan politik ketakutan. Sehingga banyak rakyat-pun percaya: Bila tidak
kita, pastilah mereka.
Dalam kepercayaan seperti itu, memberi label
tanpa pandang bulu menjadi lumrah. Komunis mempunyai satu wujud saja: kejam, anti
Tuhan dan tak berperi kemanusiaan. Menghantam rata seperti ini, adalah cara
untuk mengelabui masyarakat. Semakin menyeleweng and menipu label itu, semakin
leluasa para penguasa untuk bergerak. Di Afrika Selatan, misalnya, pada tahun
1950-an sampai 1980-an, para aktifis yang menentang Apartheids akan dituduh
sebagai komunis oleh pemerintah – sebuah cara yang mudah untuk memojokkan
mereka.
Dan bila suatu saat Anda menjadi sasaran dari
label ini, Anda mungkin akan terheran-heran dengan penggambaran tersebut. Di
Australia, gambaran Indonesia yang agresif dan mengancam sempat berdengung
sejak tahun 1950 sampai 1990-an. Dalam novel trilogi oleh John Marsden,
penjajah berkulit coklat yang licik meraja-lela dan menguasai benua kangguru
ini. Walau Marsden tidak menamai penjajah berkulit coklat ini, namun ciri-ciri
mereka begitu mirip dengan orang Indonesia. Bayangan Indonesia yang demikian
sempat menjadi alat propaganda pemerintah Australia di bawah John Howard.
Sekarang, saudara sebangsa dan setanah air, inilah pertanyaan yang saya ajukan
pada Anda: Apakah Anda pernah mempunyai rencana untuk menjajah Australia?
Memang, hidup itu membingungkan. Hal yang pasti
dalam hidup adalah ketidak-pastian, yang terkadang meresahkan. Memberi label
pada pihak lain dapat memberi kita rasa nyaman dari dunia yang perubahannya tak
berhingga, dan membantu kita untuk melimpahkan apapun yang terjadi pada hidup
kita, pada orang lain. Karena itulah, pihak penguasa seringkali menciptakan
“Iblis”, sehingga mereka bisa lolos dari kesalahan mereka sendiri. Stigmatasi
seperti ini masih tercermin dalam perayaan Kesaktian Pancasila. Ada masalah
dalam Negara? Salahkan saja Komunis!
Penulis: Soe Tjen Marching
(Versi Bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Post tanggal 25
September 2008
Sumber: http://sekitarkita.com/2009/06/bahaya-laten-komunisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar