Sabtu, 20 Juni 2015

SARA (Suku Ras Agama dan Antar golongan)


SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
• Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
• Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
SARA akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antaragama Katolik dan Islam, merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras, antargolongan) di negara kita. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (baca: Cina) sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia, meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat struktural.
SARA, khususnya agama, sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita perlu bersikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah pemicu utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya menjadi "limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah penguasaan sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan suatu etnik tertentu. Demikian pula halnya suku dalam SARA. Sebagai contoh, kebetulan etnik Cina atau suku Makasar dan Madura mampu bersaing dalam penguasaan sumber alam, maka merekalah yang dijadikan tumpuan kemarahan suku yang merasa kehilangan penguasaan sumber alamnya.
Kita memang perlu melihat masalah SARA dari perspektif lain, yakni perspektif ketidakseimbangan antara suku dalam akses mereka pada sumber alam dan faktor-faktor pada tingkat makro lain, seperti belum terciptanya birokrasi yang secara politis netral. Perspektif seperti ini akan melihat masalah sebenarnya yang kini dihadapi bangsa ini, karena SARA hanya merupakan "limbah" masalah dasar itu, serta wahana mobilisasi masyarakat, guna menarik perhatian pemerintah untuk menyelesaikan masalah dasar tersebut. Indonesia memang perlu perubahan apabila ingin memasuki abad ke-21 dengan utuh sebagai suatu bangsa.
SARA tak akan mampu memicu terjadinya suatu ketegangan apabila tak terkait dengan faktor struktural yang ada dalam masyarakat. Singapura dan Malaysia adalah negara multietnik dan multibudaya, namun hubungan antaretnik relatif harmonis. Hipotesis saya, karena Pemerintah Malaysia dan Singapura -berserta aparaturnya- termasuk pemerintahan yang bersih, baik dari segi ekonomi maupun politik. Karena aparatur kedua pemerintahan itu bersih, maka keadilan pun terjamin.
Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu pemerintahan yang bersih. Akibatnya, keadilan sulit dicapai.Sekelompok etnik tertentu, yang bekerja sama dengan aparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat memanfaatkan kesempatan yang diciptakan pemerintah. Hal ini kemudian menimbulkan masalah SARA atau sikap anti terhadap suku tertentu.
Tapi kita perlu memahami bahwa masalah tersebut muncul karena kelompok etnik itu mengalami political insecurity dalam masyarakat, sehingga mereka perlu mencari security melalui aliansi dengan aparatur pemerintah yang mengalami economic insecurity.
Gejala menarik yang terjadi di negara kita, adanya satu birokrasi yang merupakan bagian suatu organisasi sosial politik (orsospol). Ketidaknetralan birokrasi itu dapat memancing ketegangan sosial yang manifestasinya adalah pada tindakan SARA. Contohnya, beberapa gejolak sosial pada Pemilu 1997, seperti terjadi di Pekalongan. Dalam hal ini, kita dapat mendeteksi adanya political insecurity di kalangan aparatur, yakni takut kehilangan jabatan apabila orsospol tertentu kalah. Political insecurity itu sering dimanifestasikan dalam tingkah laku yang bersifat overakting, yang dapat menimbulkan reaksi keras dari orsospol lain, yang pada akhirnya menimbulkan tindakan SARA.
Bagaimanapun, SARA adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Kita tak dapat menghindar dari masalah ini. Kita dapat mencegah SARA menjadi sumber kerawanan dengan menempuh beberapa cara. Pertama, dalam membangun perekonomian harus secara tegas ditempuh pendekatan affirmative action, yakni memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk berkembang. Kedua, pemerintah harus menciptakan aparatur pemerintah yang netral dari segi politis. Korpri harus dianggap sebagai organisasi profesional pegawai negeri sipil, bukan mesin perolehan suara dalam pemilu. Ketiga, terciptanya suatu organisasi bagi kelompok etnik Cina yang dapat memberikan perlindungan politis bagi mereka, sehingga tak perlu mencari perlindungan kepada birokrasi. Keempat, menciptakan pemerintahan yang bersih dari segala jenis kecurangan.

http://insearching.tripod.com/sara.html
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/25/0033.html

http://id.wikipedia.org/wiki/SARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar